Friday, June 25, 2010

Newbie

Minggu ini, gue diserang oleh banyak hal-hal tidak enak. Dan yang paling mengganggu adalah komentar sebagian orang tentang aktivitas gue memberi wadah buat para anak-anak baru di fakultas gue untuk saling mengenal. Jadi mereka bilang, gue melakukan itu semua hanya untuk tebar pesona lah, mencari bibit-bibit baru lah, dan segala komentar skeptis yang lain. Jauh lebih enak mendengar tukul bernyanyi daripada mendengar segala komentar miring seperti itu.

Sumpah, gue ga ada niat gitu sama sekali. Dan apa pula itu bibit, emangnya gue petani. Sudah cukup "liliput pertama" yang membuat hati gue ga karuan, bagaimana bisa gue pindah ke lain hati?

Jadi apa alasan gue mengusahakan agar anak-anak baru di fakultas gue saling mengenal dengan teman-teman barunya, sampai-sampai gue harus rela menunda waktu liburan?

Mari kita putar jarum jam dan kembali ke empat tahun yang lalu. Saat itu gue baru masuk SMA dan gue ga punya teman satu pun di SMA itu. Gue melihat sebagian besar teman-teman gue udah mengenal satu sama lain. Dulu, gue adalah tipe-tipe orang yang suka minder dan pemalu. Saat itu, disuasana yang sama sekali baru, ga ada satupun yang mau nemenin gue, ga ada satupun orang yang ngajak gue ngobrol. Dan itu benar-benar menyakitkan. Gue selalu berteriaa dalam hati “Siapa saja tolong ajak gue ngomong”. Dan mereka tetap saja asyik bercanda satu sama lain. Gue ga bisa mengungkapkan, dan mereka ga bisa memahami.

Gue teringat waktu hari kedua masa orientasi siswa, gue telat datang. Disamping gue ada seorang anak laki-laki yang juge telat. Badannya tegap, mukanya jerawatan, dan nanti, tiga tahun kedepan nyaris tewas dibacok gara-gara tawuran. Dia nyapa gue.

“Lae, ga masuk?” tanyanya.

“Ah males, seniornya rese banget!” Gue jawab dengan wajah sok bandel dan sok serem. (yang pada akhirnya lebih mirip kera lagi beranak). Paling tidak gue harus menampakan kesan sangar biar ga digangguin. Plus biar gue dianggap asyik jadi ada yang mau nemenin gue.

“Oh, gue tahu tempat sembunyi yang bagus.” Katanya. Dilihat dari cara bicaranya, mungkin dia anak daerah sekitar sekolah. Yang sudah tahu seluk beluk tempat rahasia di sekolah. 

Gue yang saat itu belum punya teman pun mengikuti dia dari belakang. Gue udah senang duluan ditegur. Gue pun dengan sukarela jalan mengendap-endap bersama dia. Didalam pikiran gue, tempat persembunyian itu terdengar seperti lorong-lorong rahasia Hogwarts dalam Harry potter. Ini benar-benar keren. Dan ternyata tempat rahasia yang dimaksud adalah TOILET. Bau pula. Jadilah gue dan dia didalam toilet seperti orang gila pacaran. 

“Mau, lae?” katanya sambil menyodorkan gue sebungkus rokok. 

“Duluan genk, tadi gue baru aja isap dua.” Gue jawab bokis. Gimana mau ngisap, nyium asapnya aja gue udah pingsan.
Selama di toilet, diapun bercerita tentang segala rekor kebandelannya disekolah. Biar diterima dalam pergaulan, gue pun mengangguk-angguk dengan wajah dibuat sekagum-kagumnya. Satu-satunya kejahatan yang pernah gue lakukan adalah telat balikin buku perpustakaan satu hari. Lama kelamaan kepala gue pusing. Asap rokok dan bau WC membuat gue nyaris gila. 

Teman pertama gue malah meracuni para-paru gue.

Seminggu berikutnya, gue pun diajak gabung ke geng dia. Gue pun melihat segala orang dengan rupa-rupa mafia, mendengarkan segala rencana-renana mereka (tawuran, cabut jam pelajaran, mukulin orang). Untung mereka ga liat kaki gue gemetaran tiap kali mereka ngomong gitu.

Seminggu berlalu, gue seperti berada di nusa kambangan. Hingga suatu siang si pentolan mulai menyadari ada hal yang aneh dengan diri gue. Gue ga pernah merokok didepan mereka (yang ada gue jadi penghirup asap rokok sejati), gue ga pernah ngomong kotor, gue ga pernah mukulin temen pake asbak. Gue jadi seperti kutu buku di tengah teroris.

“Kalau mau masuk kelas, masuk saja sana.” Katanya suatu siang. Sinis. “Jangan ikuti kami.”
“Eh, kenapa?” Tanya gue. Dia diam saja.
“Pulang saja sana!” kata salah satu temannya. “Menyusu dulu sama ibumu, baru balik lagi kesini!” mereka tertawa melecehkan.

Gue diam. Menyadari kalo akhirnya gue bukan bagian dari mereka. Sakit. Bahkan kehadiran gue ga diterima bahkan didalam kelompok berandalan sekalipun. Gue pun pergi tergopoh-gopoh menuju kelas, meninggalkan kantin tempat mereka nongkrong. Dan sejak saat itu kesepian adalah salah satu hal yang paling gue benci di dunia ini. Gue jadi merasa punya banyak teman itu penting.

Itu alasan pertama gue.

Gue ingat betul bagaimana perasaan ketika pertama kali menjadi anak baru. Yang belum punya teman. Merasa asing. Merasa ga enak. Inferior. Dan gue ga mau hal itu terjadi pada orang lain.

Itu alasan kedua gue.

Alasan lain mengapa gue begitu ngotot untuk memberikan informasi kepada anak-anak baru adalah karena pada waktu dulu gue jadi anak baru di kampus, ga ada satupun senior yang ngasi informasi tentang kegiatan yang bakal dilaksanakan untuk anak-anak yang baru lulus. Gue pun terpaksa harus bolak-balik ke kampus untuk meng-update berita. Lagi-lagi gue ga ingin anak-anak baru tahun ini merasakan hal yang sama.

Semoga ini mampu meredam komentar-komentar miring yang beredar.