Tuesday, October 19, 2010

Five Received Calls

Aku baru saja membuka halaman pertama "Read, laugh, and win" nya Jack Foster ketika ponselku berbunyi. Orang yang namanya tertera di layar ponsel itu adalah seorang remaja laki-laki aneh yang hobi berbicara tentang apa saja. Kuliah di fakultas kedokteran gigi. Aku menjawab panggilannya dengan ogah-ogahan, ada apa lagi kali ini.
Dia sering menelepon ketika dia sedang mengalami sesuatu. Ketika berbicara, mulutnya seperti senapan angin otomatis.

“Halo! Eh eh lu ada gigi yang berlubang? Gue butuh pasien ni, pasien buat foto rontgen. Iya, foto rontgen intra oral. Enggak, enggak dikerjain macem-macem kok. Lu ntar Cuma duduk, terus di foto. Tapi syaratnya ya itu, gigi lu mesti berlubang. Hah? Beneran? Yakin ga ada gigi lu yang berlubang? Gigi geraham tiga lu udah tumbuh belum? Udah ya? normal ga tumbuhnya? Ah, pusing nih aku. Bantuan nyari dong. Masih sebulan lagi sih, tapi tetep mesti harus nyari dari sekarang. Ntar kabarin ya kalo udah dapet. Oke, tengkyuu.”

Dia mahasiswa kedokteran gigi semester tiga, saat ini sedang sibuk mencari pasien untuk praktikum foto rontgen intra oralnya. 
Tiga minggu kemudian, dia menelpon lagi.

“Huaa, tegang ni, bentar lagi bakal berhadapan dengan pasien untuk kali pertama. Udah dapat pasien dong gue. Temen gue. Iya, emang sih junior, tapi dianya gue anggep temen. Gue harap sih ntar lancar-lancar aja. Gue sih udah ngejelasin prosedurnya. Yang paling gue takutin ntar dia agak ga nyaman gitu pas memasukan film ke rongga mulutnya. Dan semoga ntar gue ga salah-salah, bisa bahaya ntar kalo gue dimarahi dosen di depan pasien. Malu ah. Huhuhu. Doain ya.”

Dari bobot pembicaraan yang sering diangkatnya, gue jadi tau kalau dia adalah tipe orang yang suka menenangkan diri dengan bercerita kepada orang lain.

Dua hari berlalu, aku masih penasaran dengan beberapa hal, yaitu apakah praktikumnya berhasil, apakah dia bisa menghadapi pasiennya dengan baik, dan bagaimana dia mengatasi itu semua.
Dia menelepon lagi..

“Wuaa, parah ih. Parah emang hari-hari gue belakangan ini. Praktikum gue sih lancar-lancar aja. Pasien gue juga lumayan koperatif, walau agak tegang juga pada awalnya. Niatnya sih gue baikin terus tuh pasien pertama gue. Ga akan gue lupakan dia hahaha. Soal hasil fotonya, bagus sih, bagus banget malah kalo gue lihat, dan bukan hanya fotonya yang bagus, gigi yang gue foto juga bagus ternyata. Padahal pas sebelum foto gue lihat ada karies, kecil sih, Cuma karies superficial. Kata temen-temen sih mungkin kariesnya terlalu kecil sehingga ga Nampak di foto. Yah, tau deh. Dan dengan sangat berat hati, gue harus ngulang lagi. Kesel dah. Mana temen-temen gue udah pada santai dan bisa belajar untuk ujian dengan tenang, eh gue harus nyari pasien lagi. Mana nyari pasien susahnya minta ampun. Pokoknya kali ini harus lebih teliti dalam memilih pasien. Berburu pasien lagi deh. Huaaa.”

Bahkan ketika sedang kesal, dia tetap bawel. Mungkin aku akan menerima telepon lagi darinya hanya dalam hitungan jam.
Dan benar saja, keeseokan harinya dia melakukan panggilan lagi.

“ Hai, hai, coba tebak pasien gue siapa? Coba tebak. Gue ga dapet pasien, dan gue terpaksa bawa nyokap. Hahaha, miris nih. Apa? Kasian? Belum. Cerita gue belum selesai ih. Terus ceritanya tadi kan gue bawa nyokap buat foto, terus nunggu giliran deh. Lama juga nunggu karena gue kan ngulang. Ada juga beberapa teman gue yang ngulang dan itu membuat gue sedikit lega. Tapi nunggunya kelamaan, lebih dari tiga jam kayaknya, dan tau ga sih, udah lama nunggu, tiba-tiba aja, pas tengah hari, dosen jaganya mau pergi, dan jadwal ngulang kami harus diundur jadi besok. Huaa, mana nyokap gue kesel dan ngomel-ngomel lagi. Temen gue sih ngajaknya besok datang lebih awal pagi-pagi, tapi gue punya masalah dengan yang namanya bangun cepet. Gue minta dia supaya ngesms gue subuh-subuh. Gue juga ga yakin sih gue bakalan bisa bangun ga. Huhuhu, gue ga mau berharap banyak ah. Hadapi aja. Besok, ih deg-degan lagi.”

Mendengarkan ceritanya, bener juga kata orang-orang, kuliah di kedokteran itu ga gampang.
Empat telepon masuknya, selalu bercerita tentang masalah. lama-lama aku pusing. Mungkin aku harus membantunya. Mungkin itu yang dia cari.

Esok harinya, aku sedang meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan kata-kata penghibur. Ketika ada panggilan masuk, sudah hampir dapat dipastikan itu dia.

“Ehmmm, coba denger suara gue sekarang deh. Bisa ga lu nerka perasaan gue sekarang. Sedih? Nelangsa? Bukan gue banget dong itu. Hahaha, Gue lega banget. Yap bener, akhirnya semuanya selesai. Walaupun hasil fotonya ga terlalu bagus, yang penting udah diperiksa ma dosen dan di paraf. Akhirnya saluran pernafasan gue lancar lagi. Tapi, tapi, minggu depan bakalan ada ujian praktikum lagi. Haha, tau aja lo, iya gue butuh pasien. Adik-adik lo bisa ga gue bawa? Oh lagi ujian? Iya deh, gue pun cuma bercanda. Susah ih kalo bawa anak-anak. Ngg, gue stress. Lo punya saran buat gue?. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ”

Ttttttt................................................!

Aku mematikan telepon.
Dan aku dan menyimpan kembali kata-kata hiburan yang telah aku siapkan. Kalimat pertamanya tadi mengindikasikan kalau dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tidak akan membantu orang seperti itu.
Bantuan, hanya akan membuat dia manja.
Lelaki tidak seharusnya seperti itu.

NB:
Dia : Kepribadian 1
Aku: Kepribadian 2