Tuesday, March 15, 2011

Jomblo itu . . .

Menemukan film untuk ditonton bersama oleh orang-orang yang suka jenis film berbeda itu sulit. Tidak perlu contoh, gue yang lebih suka ke jenis film komedi dan berharap sepanjang film ketawa guling-guling mungkin akan malas-malasan nonton film horror, yang merupakan jenis tontonan favoritnya si N. Dan si N pun mungkin bakal tidur lelap di tengah film jika diajak nonton film-film action yang jadi gacoannya si K.

Jadilah malam itu, Gue, Novi, dan Kiki memutuskan mengambil jalan tengah, nonton film Drama. Dengan begini tidak ada pihak yang merasa dirugikan ataupun diuntungkan. Film yang kita tonton merupakan film yang dibicarakan cukup hangat di industri film dalam negeri tahun lalu. Judulnya cin(T)a. Bercerita tentang dua orang beda agama yang saling jatuh cinta, dimana aktris yang main di film itu, menurut gue, lumayan cantik dan mendayu-dayu. membuat gue mengeluarkan pernyataan seperti ini.

“Haduh, jadi pengen punya pacar…”

Dua temen gue yang lain melirik. Dan tiba-tiba Novi menyela.

“Haha, makanya jangan Jomblo terus dong.”

Gue merengut. “Jomblo itu pilihan.” Kata gue.

“Pilihan, atau memang lo nya aja yang ga laku?” Serunya cekikikan. Si Kiki juga ikutan ketawa.
“Udah deh, kalo jomblo ya jomblo aja.” Lanjutnya lagi.

Gue diam dan berpikir. Gue benci diejek. Semua orang juga pasti begitu. Dan gue benci diejek oleh orang yang sebenarnya, you know, sama menyedihkannya dengan gue.
Maka gue pun angkat bicara.

“lebih baik Jomblo, daripada pacaran tapi hampir tiap hari dicuekin.”

Mendengar itu, tawa cekikikan Novi reda. Jelas sekali, dia adalah korban kurang kasih sayang dari pacarnya yang apatis. Mulutnya terkatup tiba-tiba. Matanya memandang gue, meminta agar kata-kata gue selanjutnya tidak keluar. Tapi gue harus mengingatkan temen gue ini, bahwa kita manusia, sebenarnya sama-sama lemah. Sebaiknya tidak memulai mengejek satu sama lain.

“Jadi ya Nov, dunia ini dipenuhi terlalu banyak orang yang cuek. Walaupun ada beberapa yang perhatian, tapi kebanyakan teman-teman gue di kampus itu cuek, lingkungan gue cuek, keluarga gue apalagi. Apa jadinya kalau pacar gue sendiri juga seperti itu? Lebih baik jomblo saja dulu daripada punya pasangan yang bisanya cuma buat makan hati atau membuat kita galau di twitter tiap malam, hoegh, malu-maluin saja.”

Novi diam. Mulutnya masih terkatup rapat. Mungkin lagi bersiap menyemburkan api. Gue seakan-akan melihat asap menggepul keluar dari kepalanya. Gue merasa sebentar lagi akan gosong, tapi gue tetap melanjutkan bacotan gue.

“Jika lo tanya mengapa gue masih juga jomblo selama hampir dua tahun ini, itu mungkin karena orang-orang yang belakangan gue suka, seperti si M, si D, dan si C, semuanya adalah jenis cewek yang menjadikan cuek sebagai perhiasannya. Yang seperti itu bukan yang gue cari.”

“Lo berbicara tentang diri sendiri, atau menyindir gue?” Tanya Novi dengan nafas yang tidak lagi teratur.

“Well, gue cuma menjawab pertanyaan tadi ‘Jomblo itu pilihan atau memang karena gue ga laku?’" Kata gue pura-pura polos. “Lo pikir gue nyindir lo gitu? Pacar kamu si Remi itu, dia kan kelihatan perhatian sekali. Ya kan? Perhatian sekali. Yeah.” 

“Entahlah,” kata Novi.

Kita pun melanjutkan menonton, tapi tanpa fokus. Si Kiki sibuk dengan handphonenya, fokus Novi mungkin sudah tidak lagi ke film, gue juga. Gue hanya bingung, sikap cuek dari orang lain merupakan hal yang sangat gue benci seperti gue membenci penyakit menular. Kenapa masih saja ada orang, seperti si Novi ini contohnya, yang mati-matian bertahan dari tekanan akibat sikap cuek itu, dari pacar sendiri lagi.

Gue ga habis pikir.

Mungkin gue harus terus belajar untuk memahami perasaan orang lain hingga gue ngerti dengan hal-hal seperti itu.