Malam itu gue tidur lebih larut, bukan hanya karena keesokan harinya ada ujian yang mengharuskan gue belajar sampai malam, melainkan karena esok hari, orang yang gue anggap spesial akan ulang tahun dan gue tentu ingin menjadi orang yang pertama memberikan ucapan selamat.
Tepat pukul 00.00 gue mencoba mengubunginya. Telepon gue tidak diangkat. Pasti dia lagi tidur. Maka gue pun mengiriminya pesan dan berharap keesokan harinya ketika gue bangun, gue melihat satu pesan masuk, dan itu ucapan terima kasih dari dia.
Mungkin dia lagi tidak punya pulsa. Begitu pikir gue ketika keesokan paginya gue belum melihat ada juga balasan. Gue tunggu satu jam, dua jam, tiga jam. Tetap tidak ada balasan. Maka ketika bertemu dia di siang harinya, gue menyalaminya dan mengucapkan selamat ulang tahun lagi. Dia hanya tersenyum kecil. Dan mengucapkan satu kata saja : Thanks. Dan dia berlalu. Melihat sikap acuh tak acuhnya, gue hanya diam mematung. Gue lupa bahwa gue punya kado di ransel yang seharusnya gue berikan ke dia.
Mungkin ulang tahun itu tidak terlalu berarti baginya. Atau mungkin gue yang tidak berarti apa-apa.
Tapi gue tetap pada pendirian bahwa dia itu spesial. Maka apa yang gue lakukan ke dia pasti selalu ‘lebih’ dari apa yang gue lakukan ke orang lain.
Setiap kali dia berwajah sedih, gue selalu berusaha mengibur. selalu menyapanya dengan senyum hangat. Sekalipun gue , setiap harinya, selalu saja diperlakukan sama. Tetap saja dianggap bukan siapa-siapa.
Begitu terus hampir setahun hingga gue tidak tahan dan mencoba untuk bertanya langsung.
Waktu itu gue sengaja datang lebih pagi ke sekolah dan menunggunya di depan gerbang.
Untung bagi gue karena waktu itu dia datang sendiri. Gue menghentikan langkahnya.
“Erin, boleh bicara sebentar.”
Dia mengernyitkan kening. “Apa?” katanya.
Walau pasti terdengar aneh, gue langsung to the point saja.
“Kenapa dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah dianggap rin? Setiap aku memulai obrolan, selalu saja tidak ditanggapi, sms-sms aku yang tidak pernah dibalas, telepon yang tidak pernah diangkat, dan…, aku hanya mau tahu kenapa.”
Dia menunjukan ekspresi aneh yang terus terang sangat tidak enak dipandang mata.
“Entahlah..” katanya melewati gue.
Gue tidak bisa menghentikannya karena kata “entahlah” itu, melemahkan kaki gue untuk berlari mengejar. Dan gue pun tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Malam itu, gue tidur lebih larut, bukan karena besok ada ujian, bukan juga karena gue mau menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat kepada seseorang. Kali ini, gue yang menunggu siapa yang pertama memberi gue ucapan selamat ketika gue ulang tahun.
Besok adalah hari ulang tahun gue yang ke 16, tidak sabar menunggu siapa yang pertama mengucapkan selamat. Gue punya kebiasaan untuk mentraktir orang-orang yang pertama kali say birthday ke gue.
Dan untuk orang yang gue harapkan menjadi yang pertama, sebut saja namanya Rika.
Berharap jika nanti telepon ataupun sms masuk, yang tertera di layar hp adalah nama dia.
Pukul 00.05, hp gue bergetar. Satu pesan masuk. Nama yang tertera di layar adalah nama cewek lain.
Gue memutuskan tidur saja dan berharap esok disekolah, ada yang ngasi kado.
Maka gue pun tidak pernah terlalu bersemangat untuk pergi kesekolah kecuali di hari ulang tahun. Ga sabar membayangkan kado-kado dari temen deket gue, Kiki, Dwi, Hendra, Astrid. Hmmm. Gue buru-buru menuju kekelas dan gue berpapasan dengan cewek yang tadi malam menjadi orang pertama. Dia mengulurkan tangannya mau menyalami gue. Gue senyum kecil dan menyambut tangannya sebentar. Kemudian gue melanjutkan langkah gue menuju kelas walau gue melihat dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan entah kenapa hari ini dia terlihat aneh. Ranselnya terlihat penuh dan kelihatan timpang dengan postur tubuhnya yang mungil.
Di hari-hari selepas hari ulang tahun, tidak terlalu banyak kemujuran yang gue alami. Selalu saja merasa kesepian. Selalu saja berharap di sms Rika duluan tapi itu tidak pernah terjadi. Kadang-kadang gue merasa tidak ada yang peduli. Tapi perasaan tidak dipedulikan orang lain itu sebenarnya tidak beralasan karena sebenarnya, ada beberapa orang yang rajin menanyakan kabar gue tiap malam, dan menyemangati gue tiap kali menjelang ulangan. Mungkin bukan tidak ada yang peduli, melainkan ada orang-orang tertentu yang tidak peduli.
Suatu hari, temen gue, yang juga merupakan teman akrab dari cewek yang rajin sms itu bertanya ke gue.
“Kenapa sih, kok kamu kelihatannya cuek banget ma si J itu.”
“Entahlah.” Kata gue. Tapi frase itu terdengar jelek. Gue jadi gue buru-buru meralatnya. “eh bukan, maksudnya, aku enggak terlalu suka aja ma si J itu.”
Temen gue itu geleng-geleng kepala. Gue merasa ada yang tidak beres.
“Iya..iya, gue tahu tampang gue pas-pasan, tapi kalau ga sreg sama orang lain ya mau gimana lagi.” Gue menambahkan.
Suasana hening. Setelah mengucapkan kata itu, gue jadi seperti mengingat sesuatu. Gue teringat Erin. Gue teringat bahwa dulunya, gue juga berada di posisi yang persis sama dengan si J ini. pikiran gue terbuka. Dan pertanyaan yang dari dulu tidak terjawab itu, akhirnya gue sendirilah yang menjawabnya.
Pada kenyataanya, dulu Erin memang tidak pernah suka dengan gue.
Suasana jadi benar-benar hening karena tidak ada satupun dari kami berdua yang berusaha memulai percakapan lagi. Gue menundukan kepala. Perasaan gue campur aduk. Dia melirik gue, dan akhirnya berkata pelan.
“Jadi, kamu memang tidak suka dengan si J? sedikit pun?”
Gue mengangguk.
“Tidak suka dengan seseorang bukan berarti kita harus bersikap sombong kepada seseorang itu kan?” Lanjut teman gue itu.
Gue tidak menjawab.
Kata sombong yang diucapkannya itu sangat terdengar tidak enak di telinga.
***
Malam itu gue tidur lebih larut, bukan karena besok ada ujian, bukan juga karena menunggu siapa yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun. Gue hanya menunggu hp si J aktif.
Gue menelponnya dari sore dan hingga pukul sebelas malam hp nya belum juga aktif.
Gue tahu persis apa yang gue rasakan ketika dulu tidak pernah diacuhkan oleh Erin, dan gue memutuskan tidak akan melakukan hal seperti itu ke orang lain.
Gue hampir saja menyerah ketika sudah memasuki pukul dua belas dan hp nya belum juga aktif. Gue memutuskan untuk tidur dan mau tidak mau harus terus merasa bersalah sebelum hp gue bergetar lagi.
Dan walaupun gue tidak suka, gue benar-benar merindukan membaca nama itu di layar hp gue.
“Halo?” kata suara dari seberang sana. Suara si J.
“Halo. J.”
“Iya, maaf tadi lagi belajar hp nya dimatiin. Kenapa zi?” Tanyanya.
“Maaf ya malam-malam gini nelpon. Kamu lagi ngapain?”
“Kamu aneh zi. Ini tengah malam lo. Nanyanya gitu. Salah makan? Atau ga bisa tidur”
Gue menarik nafas panjang. Memikirkan kata yang tepat untuk mengakhiri basa-basi gue.
“J.”
“Ya?”
“ngg, seringnya kan kamu nanya seperti itu. Kali ini giliran aku. Boleh kan?”
“Tapi ini tengah malam lo. Waktunya ga tepat.”
“Kalau memang waktunya tidak tepat bertanya seperti itu, ya udah, aku Cuma mau ngucapin terima kasih.”
“Hah, Terima kasih apa?”
“Karena perhatiannya.”
“Perhatian apa?”
“Sms –sms itu, tulisan-tulisan di blog itu, sapaan tiap kali kita berpapasan di sekolah.”
Tidak ada jawaban.
“J?”
“Ini aneh. Sumpah ini benar-benar aneh. Dan aku ga nyangka”
“Ga nyangka apa?”
“Ga nyangka kamu bisa ingat semua itu. Selama ini aku pikir semua yang aku lakukan ke kamu itu, mungkin hanya mengganggu.”
Dia diam sebentar.
“Zi..” lanjutnya.
“Ya?”
“Aku senang.”
Gue tersenyum lega dan entah mengapa, juga merasa ikut senang.
Gue jadi sadar, sekalipun kita pernah disakiti orang lain, bukan berarti kita harus menyakiti orang lain juga kan.
Dan setelah percakapan telepon yang singkat itu, si J pun menjadi salah satu sahabat terbaik gue hingga saat ini.
Apa jadinya kalau dulu gue tetap saja acuh tak acuh persis seperti apa yang Erin lakukan ke gue?
Jumlah sahabat yang bisa gue andalkan mungkin berkurang satu.