Hai. Sekarang giliranku kan?
Namaku Aaron. Ya, Dia memanggilku begitu. Kalian pasti tidak tahu, akulah yang paling bertanggung jawab atas semua senyum palsu yang sering dia munculkan.
Yeah, senyum palsu. Aku benci istilah itu. Bukan senyum palsu namanya jika seseorang berusaha tetap tersenyum ketika menghadapi masalah yang pelik. Bukan senyum palsu namanya jika seseorang tidak ingin merusak pandangan orang lain dengan tampang murungnya.
Senyum palsu itu tidak ada. Yang ada, hanyalah tetap tersenyum, apapun keadaanya.
Sekarang nilai sendiri, apakah senyum anak ini adalah senyum palsu.
Momen ini dimulai kamis kemarin, ketika temannya yang bernama Lia bertanya seperti ini :
“Zi, are you Ok?”
Jika kamu sebenarnya dalam keadaan yang tidak terlalu baik, menjawab pertanyaan seperti itu bukanlah perkara gampang. Kamu mungkin saja butuh berdialog dengan batinmu sendiri seperti yang anak ini lakukan.
Dia, Fauzi (F): Aku harus jawab apa?
Aku, Aaron (A): Katakan baik-baik saja. Kamu, baik-baik saja.
F: Oh ayolah, sejujurnya aku ingin dia tahu, aku ingin mereka tahu.
A: Untuk apa? Mereka tidak seharusnya tahu. Mereka tidak selalu harus jadi tempatmu membuang sampah. Mereka teman baikmu bukan?
F: Aku tidak bicara tentang tempat sampah
A: Apa yang kamu ceritakan itu sampah. Sampah batin.
F: Aku tetap tidak akan berbohong. Kepada diriku sendiri atau orang lain. Aku kacau.
A: Berhentilah mencari perhatian, teman. Berhentilah menjadi manja. Itu buruk sekali.
F: Jadi berbohong tidak jauh lebih buruk?
A:Entahlah, tapi, oke, kamu tidak perlu berbohong. Tetapi kamu juga tidak perlu memancing rasa prihatin orang lain dengan tampang lesu seperti itu. Boleh saja mengakui kalau kamu hancur, kacau, rusak, tetapi tidak dengan wajah seperti itu.
F: Memaksakan senyum lagi? Oh NO.
A: Memaksakan keadaan agar lebih baik, itu tepatnya.
F: It’s useless.
A: Jadi kamu mau apa? Mengatakan bahwa kamu tidak sehat dengan tampang murung? Dengan menangis? Apa kamu gay?
F: I’m not Crying. I’m not Gay.
A: Kalau begitu, jadilah laki-laki.
F: Memaksakan senyum itu membuat wajahku terlihat aneh. Mestinya kamu tahu.
A: Bagaimana ketika kamu memelas? Wajahmu bahkan jauh lebih aneh dari definisi aneh itu sendiri.
F: Jadi aku harus apa?
A; Hanya tersenyum, oke?
F: Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya.
A: Omong kosong apa itu?
F: Yeah, nyatanya memang begitu.
A: Baik, kamu mungkin lupa bagaimana caranya tersenyum, itu cengeng, tapi jangan jadi lebih cengeng lagi dengan mengatakan kalau kamu lupa bagaimana caranya mengangkat mulut.
F: Mengangkat mulut?
A: Just do it!
Inilah yang dia lakukan ketika temannya yang bernama Lia bertanya seperti ini :
“Zi, are you Ok?”
Dia mengangkat mulutnya, dan mengatakan:
“No, heh.”
Temannya itu tersenyum yang tidak bisa diartikan.
“Ya, Kelihatan memang.” Katanya.
Dia mengangkat mulut lagi. Di keadaan sulit dan penuh masalah, mengangkat mulut itu berarti tersenyum. Kemudian dia berlalu meninggalkan temannya itu.
F: Kamu lihat itu? Kegiatan mengangkat mulut ini bukannya menyembunyikan betapa murungnya aku, malah membuat dia jadi tahu kalau aku sedang mengalami sesuatu.
A: Menyembunyikan apa? Sejak awal aku tidak menyuruhmu berusaha tersenyum untuk menyembunyikan sesuatu. Baik itu kemurungan, kesedihan, atau apapun.
F: Kalau begitu, untuk apa mengangkat mul…maksudku, untuk apa senyum tadi itu?
A: Camkan ini, Senyum itu bukan untuk menunjukan kepada orang-orang bahwa kamu baik-baik saja, senyum itu, sesungguhnya hanya untuk menujukan, bahwa sekalipun kamu sedang sedih, sekalipun kamu sedang dalam kekacauan, kamu tetap berusaha untuk tersenyum.
Apakah anak itu tersenyum palsu? I dunno. Tapi kelihatannya giliranku hampir habis.
Ini untuk kata-kata penutup.
Namaku Aaron. Entahlah, dia memanggilku begitu. Aku adalah dalang dari semua sikap sok kuat dan sok tegarnya. Terlihat menjengkelkan bukan? Tapi percayalah, dengan mencoba menjadi kuat, kamu akan kuat. Dengan mencoba menjadi orang tegar, kamu akan tegar. Dan dengan mencoba tersenyum di setiap masalah yang kamu hadapi, kamu akan melihat harapan.
Trust me.
11 Februari 2011