Friday, February 4, 2011

My Paradoks

Kebiasaanku mengamati hal-hal kecil di sekitar mempertemukanku dengan orang-orang yang mempunyai kebiasaan unik. Salah satunya adalah Dia. Dari luar, Dia sama saja seperti remaja yang lain. Suka musik, gemar nonton film, dan punya ketertarikan besar terhadap lawan jenis. Kebiasaanku mengamati hal-hal kecil di sekitar, membuatku tahu kalau Dia itu sedikit berbeda. Bukan perbedaan penting, tapi bagiku cukup unik.

Pernah suatu hari ketika dia terserang demam film. Setiap harinya dia menonton lebih dari tiga film. Berburu dvd film malah menjadi rutinitas yang sejajar dengan makan ataupun tidur. Dia menjadi kacau. Paling tidak, kekacauan itu bisa dilihat dari caranya menghabiskan waktu. Saat penyakit kecanduan filmnya hampir tidak tertolong lagi, salah seorang cewek yang aku tahu adalah temannya, mengirimi dia sebuah tweet nasehat sederhana di twitter seperti ini :

“selamat pagi @dia no more movies for today, please!”

Mungkin tweet itu sebagai respon terhadap hastag #nowwatching dari dia yang sering wara-wiri tiap malam. 

Setelahnya, apa yang terjadi? Dia perlahan berubah. Sejauh yang aku amati, baik dari topik pembicaraannya yang tidak melulu tentang film lagi, hingga hashtag #nw nya yang hanya muncul di malam-malam libur.

Apakah dia menganggap serius pesan temannya di twitter itu atau dia hanya kehabisan film untuk ditonton? Masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan.

Aku tetap pada kebiasaanku mengamati hal-hal kecil. Tidak terlalu penting memang tapi kebiasaan tidak harus selalu penting bukan? Aku juga punya kebiasaan tidak penting lain seperti menggumam “Ckckck” kepada teman-temanku yang sering terlambat masuk kuliah. Kebetulan, hari ini dia juga terlambat. Berdiri di depan pintu dengan wajah memelas berharap diizinkan masuk oleh dosen. Dan jika izin itu sudah didapat, ia kemudian masuk tergopoh-gopoh sambil melihat sekililing, mencari bangku yang kosong. Aku baru saja bersiap untuk mengguman “ckckck” ketika dia melewati bangku tempatku duduk sebelum aku mendengar salah satu temannya mengucapkan sesuatu, dengan wajah yang sangat tidak mengenakan.

Sepintas aku melihat dia melempar senyum. Aku melihat senyum itu sebagai senyum penuh berbagai kemungkinan.Bisa saja dia tersenyum karena merasa senang masih ada yang peduli terhadapnya dengan mempertanyakan keterlambatannya itu, atau tersenyum miris, senyum yang dipasang untuk menghindari rasa malu kepada teman sendiri karena tidak disiplin. Buat orang-orang yang hidupnya terlalu serius, tidak disiplin bisa mempunyai arti yang sama dengan “pecundang”.


Kok telat?” seharusnya itu kalimat pertanyaan biasa. Dua kata lazim yang tidak baku. Tapi lihat efek dari kalimat pertanyaan sederhana itu jika diarahkan ke orang yang tepat. Terhitung semenjak pertanyaan itu dilontarkan, jumlah pria yang mengetok pintu ketika kuliah pagi berlangsung jadi berkurang satu. 

Apakah kalimat yang dilontarkan itu begitu penting? Ataukah orang yang melontarkan pertanyaan itulah yang penting? Who know? Yang jelas, aku kini menyadari bahwa ada seseorang yang mulai berusaha untuk menjadi disiplin hanya gara-gara sebuah kalimat yang mungkin buat sebagian orang, tidak perlu terlalu dipikirkan.
Kejadian itu membuatku menyebutnya dengan julukan, “laki-laki yang punya kebiasaan mengingat nasehat-nasehat kecil.”
Sejujurnya, aku ingin sekali berbicara dengan orang-orang unik seperti dia. Ingin bertanya, apakah hanya sebuah nasehat kecil nan sederhana yang bisa membuatnya mengambil langkah maju. Bagaimana dengan mediator perubahan yang lain, seperti quote-qoute bagus di buku atau film.

“Jadi, apa yang membuatmu mengingat nasihat-nasihat kecil orang dengan sangat baik dan mengaplikasikannya?” tanyaku pada suatu kesempatan di taman kampus. Di depan kami ada beberapa perempuan yang sedang asyik ngobrol. Dari tadi aku melihatnya memandangi salah satu dari mereka.

“Well, sebenarnya, aku tidak mengingat kata-kata, atau mengingat nasehat.” Jawabnya.

Seperti yang telah aku cemaskan sebelumnya, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan.

“Aku hanya, entah mengapa, suka menghargai perhatian orang. Baik perhatian manis ataupun skeptis.” Lanjutnya.

“Oh, menghargai perhatian? Hanya perhatian dalam bentuk kata-kata sajakah?” Tanyaku lagi.

“Lihat ini.” Katanya. Bangkit dari tempat duduk dan menghampiri (atau hanya melewati) sekumpulan perempuan yang dari tadi ia pandangi. Aku mengikutinya dari belakang.

Aku melihat dia melewati sekumpulan perempuan itu dan memandangi salah satu dari mereka. Dan dia tersenyum ketika perempuan yang ia pandangi dengan tatapan hangat itu melambaikan tangan. Hanya melambaikan tangan.

“Selanjutnya kamu hanya tinggal melihat” katanya.

“Lihat apa?” tanyaku bingung. Melihat berpindah pindah antara dia dan perempuan itu.

“Melihat bagaimana senyum ini bertahan sepanjang hari hanya karena lambaian tangan dari perempuan yang matanya minus 1,5 itu.”

Kata-katanya membingungkan. 

Yah, kebiasaanku mengamati hal-hal kecil disekitar tidak hanya mempertemukanku dengan banyak orang yang mempunyai kebiasaan unik, tetapi juga membuatku sadar, ada banyak orang yang kelihatannya baik-baik saja, ternyata justru sangat membutuhkan perhatian. 
Dan menunjukan kebutuhannya akan perhatian dengan menghargai setiap perhatian kecil yang diberikan kepadanya.