Cause 1
Awal dari rasa sentimen gue dengan rokok sebenarnya sudah dimulai dari lima belas tahun lalu. Waktu itu nominal lima ribu rupiah masih terasa begitu tinggi, apalagi buat gue yang saat itu masih berumur lima tahun.
“Ini buat aku?” Tanya gue kegirangan ketika bokap menyerahkan selembar uang lima ribuan baru. Saat itu gue memang lagi butuh uang untuk beli lotere berhadiah mainan Gundam.
“Beliin Rokok dua bungkus sana. Kalau ada sisanya, ambil saja.” Jawab bokap gue.
Yang ada di pikiran gue yang masih kecil waktu itu adalah, ternyata, bagi bokap gue, rokok lebih penting dari kesenangan anak sendiri.
Yah, pola pikir gue memang masih sederhana. Tapi seandainya saja bokap gue bukan perokok berat, uangnya pasti bisa dialokasikan lebih banyak buat uang jajan gue.
Cause 2
Enam tahun kemudian, gue sudah duduk di kelas 6 SD. Suatu ketika, gue bersama tiga orang temen gue, yang bandel-bandel, nongkrong di kantin belakang sekolah (SD gue punya tiga kantin, dimana kantin belakang adalah kantin yang jauh dari pantauan guru). Salah satu temen gue membawa sebungkus rokok, hasil nyolong punya bokapnya. Dia membagikan rokok itu satu satu ke gue dan ke dua lainnya.
“Ini gimana cara makenya?” Tanya gue waktu itu. Ragu dan agak tidak tertarik.
“Bakar ujungnya, kemudian hisap.” Kata temen gue yang punya rokok itu. Tampak dua temen gue yang lain sudah menyalakan rokok. Asap mengepul di ruangan kantin.
“Hanya dihisap?” Tanya gue. Mereka Cuma mengangkat alis. Sesekali mengeluarkan asap dari hidung. Hebat bener bisa keluar asap dari hidung, pikir gue waktu itu. Untung ga dari pantat.
Gue menghidupkan pemantik api dan menyalakan rokoknya. Kemudian gue letakan ujung rokok itu ke mulut, dan mengikuti instruksi temen gue tadi, menghisap rokoknya.
Tenggorokan gue serasa terbakar.
“Uhuk..uhuk..uhuk..” Gue batuk dengan hebat. Mata gue berkunang-kunang.
Semua temen gue ketawa. “Goblok, Asapnya jangan ditelen!”
Gue mematikan rokok itu dan membuanya ke tong sampah. Ruangan kantin dipenuhi tawa membahana. Tapi entah mengapa, itulah untuk pertama kalinya gue tidak merasa malu ketika ditertawakan. Malah gue bersyukur, gara-gara hal itu, pandangan gue kepada sesuatu bernama rokok menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Ada orang yang bisa menjelaskan ke gue apa enaknya makan asap?
Cause 3
Gue sedang dalam perjalanan naik bus dan disamping gue duduk laki-laki separuh baya dengan rokok di tangannya. Gue bukanlah orang yang gampang mabuk perjalanan. Lain halnya jika gue menghirup asap rokok. Gue bisa jadi mual dan pusing.
Gue membuka jendela bus dan membalikan muka ke arah jendela, berharap mendapat angin segar. Tapi entah disengaja atau tidak, asapnya terus saja mengarah ke gue.
“hukk, uhuukk.” Gue batuk pelan. Takut menyinggung si perokok. Tapi rokoknya tetap tidak dimatikan. Gue melirik ke arahnya, memperhatikan ekpresi puas dari wajahnya karena rokok itu, kemudian gue melihat dia menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, menerpa wajah gue.
“Uhukk, uhukk, oekk.” Gue refleks batuk. Karena tidak tahan lagi, gue batuk keras-keras agar dia sadar rokoknya itu baru saja meracuni paru-paru orang ganteng.
Dia memandang gue. “Maaf.” Katanya sambil memindahkan rokoknya dari tangan kiri ke kanan.
Dua menit kemudian, asap kembali menerpa wajah gue. Gue memandang ke samping dengan geram. Yang gue lihat hanya wajah puas dengan mata merem melek, dan hidung yang mengeluarkan asap.
Gue baru tahu kalau merokok ternyata bisa membuat orang jadi acuh tak acuh.
Cause 4
Gue masih ingat, waktu kelas sebelas, gue pernah punya teman wanita yang menolak cinta seorang cowok yang gue anggap ganteng. Karena akal sehat gue tidak bisa menerima hal-hal seperti itu, gue pun bertanya kepada orang yang bersangkutan.
“Aku bingung, kenapa sih kamu nolak dia?” Tanya gue penasaran. Guru matematika saat itu sedang berhalangan hadir sehingga ada dua jam kosong yang selalu dimanfaatkan oleh sebagian siswa untuk ngobrol.
“Kenapa bingung? Apa ada yang aneh ya?’ Tanyanya balik.
“Maksudku, si L itu kan, Ganteng. Kelihatannya baik lagi. Dia juga pintar kan? Terus terang aku kagum dengan dia, apalagi kalo main voli.”
“Oh haha.” Dia tertawa. “Ya aku juga kagum. Sedikit.”
“Terus?”
“Ya belum mau pacaran aja.” Katanya. “Lagipula, dia merokok.”
“Kenapa kalau dia merokok?” Gue semakin penasaran.
“Haha, deket ma orang yang merokok aja ga betah, apalagi dijadiin pacar.”
“Oh hahaha.” Gue ikutan ketawa. Tentu saja, gue bukan perokok. “Jadi, bukan perokok merupakan kriteria cowok idaman?”
“Bisa dibilang begitu lah.”
“Bagus, kalo gitu aku masih punya kesempatan.”
“Hah apa?”
“Enggak! Enggak!” Gue memalingkan muka.
Dan pada akhirnya, sadar atau enggak, keputusan untuk tidak merokok memberikan banyak keuntungan yang tidak disangka-sangka buat gue, juga untuk orang-orang di sekitar gue.
Gue bangga menjadi orang yang tidak merokok.