Monday, February 8, 2010

Mencari Jiwa yang Hilang di Perahu kertas

Robot.Ya, gue mengawali tahun ini dengan bersikap seperti robot.Ga punya tujuan dan motivasi apa-apa.Hanya bergerak semau gue tanpa tahu maksud dari apa yang gue lakukan.Datang ke kampus sering telat.Dikampus pun males banget buat dengerin dosen.Benr-bener krisis hidup yang parah.Sekarang gue bahkan lebih buruk dari robot, gue seperti boneka, lemah, sering lesu, melakukan apapun hampir tanpa gairah sama sekali.Dengan kata lain, jiwa gue hilang.
Gue ga ngerti.Gue ga tau apa yang terjadi ma diri gue ini.Setiap pagi selalu gue awali dengan keluhan, gue jauh dari keluarga, jauh dari Tuhan, jauh dari Jiwa gue sendiri.
Diawal tahun ini, gue terus hidup dengan dilema dimana gue sendiri ga tau apa namanya.
Hingga akhirnya, disalah satu situs penyedia file, gue menemukan sebuah ebook novel perahu kertas karangan dewi lestari(dee).Gue mengenal dee sebagai penulis hebat yang pernah membuat gue terpesona dengan trilogi supernovanya.Atas dasar itu gue mulai membaca halaman demi halaman tanpa adanya rasa takut kalau ternyata ebook yang gue baca punya jalan cerita yang dangkal.
Bahasa yang digunakan dee ringan dan amat memikat.Plotnya mengalir, tak terasa gue sudah membaca lebih dari sepuluh halaman.Gue semakin menikmatinya.Karakter yang ditampilkan dee terasa begitu mendorong keinginan gue untuk terus membaca.Karakter-karakternya unik, tak biasa, lucu, dialog-dialognya sederhana tapi cerdas.
Dilema gue sedikit terlupakan.Gue terus membaca, hingga menemukan bahwa salah satu tokoh dalam cerita tersebut, Kugy, membuat gue seperti bertemu dengan batin gue.Membuat gue sadar bahwa gue udah lama kehilangan jiwa dan kini jiwa itu malah berkeliaran di buku yang gue baca..
Gue pun terhanyut dalam arus ceritanya yang begitu kontemplatif.Semakin membaca kedalam gue semakin menemukan diri gue sendiri.

Gue menemukan sosok Keenan, seorang lelaki yang bercita-cita menjadi pelukis, tetapi malah kuliah di jurusan manajemen karena keinginan ayahnya.
Dan itu hampir mirip sekali dengan gue, yang kuliah di kampus gue juga kurang lebih karena harapan orang tua.

Gue juga memahami sosok Kugy, yang untuk sementara, mengubur cita-citanya menjadi penulis dongeng karena lingkungannya menganggap bahwa cita-cita seperti itu konyol dan tidak realistis.Tidak akan sanggup membiayai hidupnya kelak.
Sangat mirip gue yang mengurungkan diri untuk menjadi penulis karena tidak yakin bisa hidup dengan penghasilan gue dari profesi itu.
Entah ini kebetulan, gue nggak tau.Tapi rasa-rasanya semakin membaca novel ini lebih lama, gue semakin menemukan sumber keresahan gue selama ini, sesuatu yang lama gue pendam, sesuatu yang ingin gue ungkapkan tetapi gue ga bisa, dan apa yang gue rasakan persis sama seperti cuplikan dialog ini:

*Perahu kertas Halaman 36-38

“Kata Eko, kamu suka nulis dongeng ya?”
“Iya, hobi sejak kecil.”
“Tulisan kamu udah banyak?”
“Kalau kuantitas sih banyak, tapi pembaca enggak ada.Dan bukannya tulisan baru bermakna kalau ada yang baca?” Kugy tertawa kecil. “sejauh ini sih Cuma dinikmati sendiri aja.’
“Kenapa gitu?”
“Siapa sih yang mau baca dongeng?” Kugy terkekeh lagi. “Mungkin aku harus jadi guru TK dulu, supaya punya pembaca.Minimal dongengku bisa dibacakan dikelas.”
“Banyak penulis cerita dongeng yang bisa terkenal, dan nggak harus jadi guru TK dulu untuk punya pembaca.”
Senyum simpul mengembang di wajah Kugy, seolah-olah hendak menjawab pertanyaan klasik yang sudah ia hafal mati jawabannya. “Keenan, umurku 18 tahun, kuliah jurusan Sastra, kepingin jadi penulis serius dan dihargai sebagai penulis serius.Orang-orang di lingkunganku kepingin jadi juara menulis cerpen di majalah dewasa, atau juara lomba novel Dewan Kesenian Jakarta, dan itu menjadi pembuktian yang dianggap sah.Sementara isi kepalaku Cuma pangeran Lobak, Peri Seledri, Penyihir Nyi Kunyit, dan banyak lagi tokoh-tokoh sejenis.Di umurku harusnya aku nulis kisah cinta, kisah remaja, kisah dewasa…”
“Banyak kisah dongeng yang isinya kisah cinta.”
“Intinya adalah semua itu nggak matching! Antara umurku, profilku, cita-citaku, pembuktian yang harus aku raih, dan isi kepala ini.”
“Saya masih enggak ngerti.” Keenan melipat tangannya di dada.
“Waktu aku kecil, punya cita-cita ingin jadi penulis dongeng masih terdengar lucu.Begitu sudah besar begini, penulis dongeng terdengar konyol dan nggak realistis.Setidaknya, aku harus jadi penulis serius dulu.Baru nanti setelah mapan, lalu orang-orang mulai percaya, aku bisa nulis dongeng sesuka-sukaku.”
“Jadi…kamu ingin menjadi sesuatu yang bukan diri kamu dulu, untuk akhirnya menjadi diri kamu yang asli, begitu?”
“Yah, kalau memang harus begitu jalannya, kenapa nggak?”
“Bukannya itu yang nggak matching?” Tanya Keenan lagi, tajam.
“Asal kamu tahu, di Negara ini, Cuma segelintir penulis yang bisa cari makan dari nulis tok.Kebanyakan dari mereka punya pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek, copy writer di biro iklan kek.Apalagi kalau mau jadi penulis dongeng! Sekalipun aku serius mencintai dongeng, tapi penulis dongeng bukan pekerjaan ‘serius’.Nggak bisa makan.”
“Tadi kamu makan pizza.Nggak ada masalah kan? Artinya kamu bisa makan.”
“Aku harus bisa mandiri, punya penghasilan yang jelas, baru setelah itu…TER-SE-RAH,” nada suara Kugy mulai tinggi, “aku nggak tahu kamu selama ini ada diplanet mana, tapi di planet bernama Realitas ini, aturan mainnya ya begitu.”
Keenan terdiam.Di kepalanya melintas gulungan-gulungan kanvas bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di Amsterdam. “Betul.Memang begitu aturan mainnya,” gumamnya.
*

Hati gue terhenyuk membaca dialog itu.Realitas, lingkungan, hobi, pilihan hidup, semuanya mengingatkan gue akan cita-cita gue yang udah lama gue kubur.

Gue masi ingat cita-cita gue dulu untuk menjadi penulis.Biarpun orang mengkritik, bilang gue ga ada bakat, atau sebagainya, gue tetap ga bisa berhenti menulis.

Tapi setelah lulus SMA, gue berpikir, ga selamanya kita harus selalu melakukan apa yang kita senangi.Ada kalanya kita harus lebih mementingkan hidup dari hobi kita.
Dan saat itulah gue dihadapkan kepada realitas.Apa nanti gue bisa hidup hanya dengan menulis? Apakah gue bisa menafkahi keluarga gue hanya dengan duduk dan menulis? Mungkin saja bisa, tapi kemungkinannya sangat kecil.
Apalagi gue bukanlah orang yang punya bakat menulis.

Inilah realitas.Lagi-lagi gue harus mengubur impian itu demi hidup gue.

“Ya, memang begitu aturan mainnya.”
Kata-kata itu bergaung ditelinga gue, menusuk.
Jika gue adalah perahu kertas, maka arus adalah realitas, dan realitas ini membuat gue terseret ke tempat yang sebenarnya bukan tujuan gue.
Gue mungkin harus melawan arus, atau mengambil jalan memutar untuk mencapai tujuan itu.
Gue akhirnya sadar bahwa sumber semua dilema gue saat ini adalah kebimbangan gue dalam memilih.
Gue bingung untuk memutuskan.
Gue ga bisa memilih.
Dan ketidakmampuan gue untuk mengambil keputusan itu malah berubah menjadi hantu.

Sekarang gue harus memilih.
Apakah gue akan menjadi penulis serius, atau tetap bertahan di fakultas gue sekarang.

Gue kembali mengingat hari dimana gue memutuskan untuk meletakan fakultas gue saat ini dalam formulir ujian masuk bersama perguruan tinggi negeri.
Gue yang memilih.
Dan apa yang terjadi saat ini adalah buah dari pilihan gue itu.
Bukankah manusia harus bertanggung jawab terhadap pilihannya?

Yang melarikan diri dari kenyataan yang telah dipilihnya adalah Pengecut.

Gue benci dengan sebutan itu.

Kalau begitu, gue akan menggenggam pilihan ini, dan maju bersamanya.
Apapun yang terjadi.
Sekalipun harus mengubur mimpi gue untuk menjadi penulis sekali lagi.

Hidup ini dibentuk dari pilihan-pilihan kita.Gue baru mengerti itu sekarang.