Tuesday, April 6, 2010

Dalam diam

Entah sejak kapan, hingga saat ini, aku memperhatikannya setiap saat. Bahkan ketika didalam kelas, ketika dosen sedang bercuap-cuap tentang lesi non-neoplastik, sarcoma, karsinoma, transduser, dan berbagai istilah medis yang sulit dicerna bulat-bulat, aku masih saja curi-curi pandang ke arahnya. Memperhatikan setiap perubahan mimik wajahnya, setiap gerakannya, ketika dia menunjukan wajah bosan, ketika dia mengernyitkan kening, ketika dia menatap handphonenya dengan tatapan kosong, dan ketika dia tersenyum, yah sebuah mimik yang selalu kuharapkan untuk dilihat setiap hari.

Dan entah sejak kapan juga aku hanya bisa diam. Tidak bisa sedikitpun menunjukan kalau aku suka kepadanya.

Tak terhitung seberapa sering aku mendengar suara hatiku berteriak “kamu pengecut”. “Pecundang” atau “Pemendam perasaan” . Toh aku tidak pernah terlalu mempercayai suara-suara hati yang negatif, walau aku yakin semua itu ada benarnya juga.

Aku hanya bisa resah ketika dia didekati cowok lain. Semakin lama hal ini semakin menyebalkan. Aku tidak tahu lagi. Aku tidak bisa menutupi kegelisahan yang dia sebabkan, dengan membaca novel, dengan bermain game, dengan berteriak sekeras mungkin. Hasilnya nihil. Sekali lagi, aku tidak bisa hanya lari. Suatu bukti bahwa manusia tidak bisa lari dari perasaannya sendiri.
Kadang-kadang aku ingin sekali melakukan sesuatu untuknya, seperti misalnya, memberi hadiah ketika dia ulang tahun, atau hal-hal lain yang mungkin bisa membuat dia senang. Tapi terlalu banyak keraguan. Dan seperti apa yang dikatakan shakespere dalam puisinya, measure for measure, “keraguan adalah pengkhianat, yang sering kali membuat kita kehilangan peluang” dan aku pun mengalaminya.

Dan akulah kombinasi dari keresahan, keraguan, dan kebisuan.

Dan dia belum juga tahu dan tidak akan pernah tahu jika aku terus bersama kombinasi ini.
Aku mungkin takut dengan kenyataan jika ternyata dia tidak punya perasaan yang sama, tapi bersembunyi dari kenyataan juga tidak lebih baik dari perasaan yang bertepuk sebelah tangan.
Aku bingung, dan di bawah pepohonan rindang di halaman kampus kami, aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Berharap menemukan jawaban dari tawanya, dari senyumnya, dari sinar matanya, dari pancaran kekuatan yang diberikannya.

Aku yakin ada saatnya wajah itu memberitahukan apa yang seharusnya aku lakukan.