Sunday, May 23, 2010

The Big Mouth

Malam minggu kemaren, gue datang kerumah temen gue, Deni, dengan muka dibuat sekusut mungkin. Deni adalah temen gue sejak kecil, kuliah di fakultas psikologi salah satu universitas swasta, sejak kelas satu SD ampe sekarang. Dan melihat muka gue yang kusut, dia langsung tahu kalo gue ada masalah.
Gue dipersilahkan masuk. Gue duduk, di sofa.

“Ada masalah apa, nyong?” tanyanya.

Gue menarik nafas sedalam mungkin. Kemudian mencoba bicara.

“Den, kalo menurut lo, gue ini orangnya ber ‘mulut besar’ ya?” Tanya gue pelan.

“Hah?”

Deni kaget mendengar pertanyaan dodol gue. Tapi sebisa mungkin menghilangkan ekspresi kagetnya.

“Iya, menurut lo gue ini bermulut besar atau bukan sih?” Tanya gue lagi.

Deni kelihatan seperti sedang menetralisir keadaan. Dengan sikap tenang yang dibuat-buat dia menjawab.

“Menurut gue, lo itu ga bermulut besar!

Gue tersenyum lega.

“Tapi lo itu mata keranjang!” Balasnya ngakak.

Gue nyengir onta, terima kasih Deni engkau memang Teman (dan monyet) yang setia kawan! Mbuhuhu.
“Kenapa? Ada orang yang bilang lo seperti itu?” tanyanya. Badannya yang gempal disandarkannya ke sofa.
Gue mengangguk.

“Ngg, kalo itu sih mau gimana lagi. Itu kan hak dia untuk berpikir orang lain itu seperti apa?”

Gue mengerutkan kening.

“Omongan lo kayak orang kebanyakan ngirup lem aibon. Gag ngerti nih.”

“lemot, maksud gue, asal lo yakin kalo lo bukanlah orang seperti yang dia bilang, semua masalah bakal beres.”

“????” gue Cuma bengong. Kata-kata Deni di kepala gue udah seperti rumus-rumus trigonometri sudut ganda. Bermulut besar adalah salah satu ejekan paling mengena yang pernah gue terima seumur hidup. Nelangsa banget.

“Den, gue nginep di rumah lo ya.” Gue memelas.

Deni mengangkat alis, sebelum tidur kami sempat menonton film lama favorit kami bersama “JOMBLO” sambil bercerita tentang masa lalu. Masa-masa SMP.

“Setelah dipikir-pikir, aneh juga ya, lo yang dulu wakru SMP paling irit kalo ngomong sekarang malah dibilang bermulut besart.” Deni ngikik seperti kuda. Gue curiga, Jangan-jangan dia keturunan kuda ostrali.

“Ntahlah, segala sesuatu kadang berubah tanpa kita sadari, Dunia ini kan memang begitu. Baharu.” Jawab gue.

“Enggak ozi monyong. Ucapan lo ga sepenuhnya bener. Masih ada yang gue lihat belon berubah.”

“hah? Apa yang belon berubah? Indonesia masih Negara terkorup? Haha iya mah mental bangsa memang sulit diubah.” Gue tertawa.

"Bukan.” Jawab Deni.

“Jadi apa?”

“Kebiasaan lo menutupi semua masalah dengan tawa palsu!"

Gue ga bisa berkata apa-apa mendengar ucapan Deni itu.

Hening lama. Gue serasa bisu untuk menjawab. Apa semua anak psikologi memang jago ngeluarin kata-kata yang mengejutkan seperi ini.

“Gue cuma ga mau aja merusak dunia ini dengan kesedihan gue!” gue jawab. Sempat tercekat di lidah.

“Dunia ini memang sudah rusak, lo ngapain ikut-ikutan rusak juga!”

“Emangnya siapa yang mau bersusah-susah mendengarkan keluh kesah gue?” kata-kata itu meluncur sendirinya dari mulut gue. Rasanya aneh gue ngomong gitu. Sedikit merasa bersalah juga. Gue jadi teringat, waktu smp kelas tiga, untuk pertama kalinya gue pernah cerita tentang masalah gue ke orang terdekat, dan jawabannya ga akan pernah gue lupakan hingga saat ini.
“Kamu kan laki-laki, tau kan, laki-laki itu harus bisa nyelesain masalahnya sendiri.”
Bokap gue lebih ketus lagi. Waktu gue cerita tentang sesuatu hal, dia mengatakan “Laki-laki harus kuat!” sambil berlalu, tanpa menoleh sedikit pun.

Melihat Deni yang geleng-geleng kepala, gue melanjutkan

“ngg, maaf!, maksud gue, sampai sekarang gue masih nyari orang yang bisa ngertiin gue.” Gue jawab bokis. “tapi belon nemu Den. Rata-rata, mereka bilang gue aneh.”
Deni menarik nafas panjang.

“Yang bisa ngertiin diri lo? Ada tuh.”

“siapa Deni?”

“Ya, diri lo sendiri! Ngapain nyari di tempat lain!”

Hening lagi.

“tapi soal ‘mulut besar’ tadi, bener kok lo ga pantas dibilang gitu.”

“haha iya, mata keranjang ya.” Gue tertawa garing.

“Bukan,ga cocok aja dibilang bermulut besar. Lebih cocok dibilang bermulut bau Hha.”

“Heh, daripada mulut lo, baunya merusak ozon!:

“Hah?”

Gue tertawa ngakak sambil membaringkan diri di kasur.

Minggu demi minggu blok 8, banyak sekali hal berat yang terjadi. Ada teman yang ngejauhin gue, ada temen yang tiap kali ketemu gue ekspresinya dingin, ada yang bilang gue menyampah lah, ada komik yang gue pinjam di kedai buku ilang, sampe malah ada yang bilang gue bermulut besar segala. Kalo gue cewek, gue pasti udah ngabisin tisu satu truk
Gue masih bersyukur bisa menjalani hari tanpa dendam, tanpa benci, tanpa sikap permusuhan.
Dunia ini terlalu sempit untuk dipenuhi dengan kebencian.