Wednesday, December 22, 2010

Love, Language, and Musi River

Ini adalah cerita ketika dulu gue ingin mendekati seseorang, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Hal lazim yang biasanya gue lakukan ketika berusaha untuk mendekati seseorang adalah mencari tahu apa hobinya. Dari hobi inilah biasanya gue menemukan celah untuk mendekat. Gue hanya tinggal mempelajari hobi seseorang, kemudian memulai sebuah obrolan hingga seseorang itu merasa nyambung ngobrol dengan gue. Itu formula yang biasa gue lakukan. Hanya saja, kali ini gue ingin mendekati seseorang yang ga punya hobi. Atau lebih tepatnya, seseorang yang gue ga tahu hobinya apa. Isi profil facebooknya sangat singkat dan akses informasi dari teman-temannya sangat terbatas. Kalau begini, bagaimana bisa gue mendekat?

Hari demi hari berlalu dan gue masih terus berusaha mencari informasi, sendirian. Memperhatikannya dan selalu view profil facebooknya sembari berharap mendapat suatu clue dari situ. Naas buat gue, profil facebooknya berisi wall-wall berbahasa daerah. Bahasa Palembang. Jelas gue ga ngerti apa-apa. Gue juga ga punya teman orang Palembang yang bisa gue Tanya. Usaha gue pun kelihatan semakin sulit.

Hari demi hari berlalu lagi. Gue masih terus mengamati. Mengamati orangnya. Mengamati profil facebooknya. Dari pengamatan itu, gue akhirnya menyadari bahwa ada satu orang yang sangat sering mengirim wall ke dia. Gue bisa ambil kesimpulan kalau itu teman dekatnya. Hmm, teman dekat. Orang Palembang juga.Tanpa pikir panjang gue add temannya itu. Siapa tahu nanti bisa ngajarin gue bahasa itu. 

Hari berlalu seperti biasa dan friend request gue akhirnya di confirm. Ini momentum, pikir gue waktu. Maka, dengan modal sok kenal sok dekat tingkat dewa, dimulailah teknik berkenalan di dunia maya. Di mulai dari like-like status, mengomentari status yang bisa di komentarin, hingga akhirnya memberanikan diri mengirim wall klasik yang berbunyi seperti ini.

“Temannya si “****” kan?”

Gue beruntung dan dibalas komentar seperti ini.

“Iya. Kenapa? Temannya dia juga ya?”

Merasa ditanggapin, gue pun memberondong si Teman yang baik ini dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan (yang sebenarnya ga penting). Biarin deh dibilang aneh, yang penting percakapannya makin panjang, dan peluang gue untuk menanyakan informasi berharga semakin terbuka lebar. Jika gue beruntung, gue bisa belajar bahasa Palembang dengan si teman ini sekalian.
Hari berlalu dan terus berlalu, percakapan antara gue dan temannya itu hampir menemui jalan buntu alias gue ga tahu mau nanya apa lagi. Stuck. Maka, mau ga mau gue harus kembali ke tujuan semula: minta diajarin bahasa Palembang.

“Eh, boleh minta tolong ga? Ajarin aku bahasa Palembang dong.” Inilah yang gue tulis ke dia waktu itu.

Ajarin bahasa Palembang? Minta ajarin ma **** aja.”

Dia mah sibuk terus. Lagian aku minta ajarin supaya ntar bisa ngobrol ma dia pake bahasa Palembang.

Yah, gue langsung to the point aja saking ga tahu lagi mau buat alasan kenapa gue harus belajar bahasa itu. 

Oh. Tapi gimana cara ngajarinnya?” tanyanya.

Apa bahasa palembangnya “kenapa”?

Dan pertanyaan-pertanyaan seeprti itu terus berlanjut hingga si teman ini bosan dan tidak membalas pertanyaan gue lagi. Ga apa-apa. Yang penting gue akhirnya bisa belajar kosa kata baru seperti:

Kenapa: ngapo
Apa: Apo
Bagaimana : Cak mano
Tidak apa-apa: Dak papo
Idak: Tidak
Katek: Tidak ada
Melok: Ikut
Nak: Mau
Payo: Ayo

Yah, memang ga banyak sih, tapi paling tidak ini bisa sedikit membantu terutama apabila dia membuat status-status yang mengundang pertanyaan di facebook. Gue tinggal ngasi komentar seperi ini aja “ngapo ****?” 

Mau ketawa silahkan deh. Yang penting kan usaha.

Haripun berlalu dan berganti, gue makin sering update kosakata baru. Dan karena si teman sudah ga mau membalas pertanyaan-pertanyaan gue lagi, ma gue pun mencari guru baru. Guru baru gue adalah internet. Kebetulan setelah googling sana-sini, gue menemukan forum khusus buatan anak-anak Palembang. Dan entah jin apa yang merasuki gue saat itu, tanpa tahu malu, gue pun dengan sotoy menulis seperti ini di forum itu.

“Hai teman-teman. Tolong ajarin gue bahasa Palembang dong. Kalo bisa yang kalimat percakapan. Oke. Terimakasih.”

Esoknya gue kembali ke forum itu dan mendapati banyak balasan. Cuma karena balasannya pake bahasa Palembang, gua jadi ga ngerti apakah mereka ngetawain gue, ngejek gue, atau malah ngajarin. Untung saja ada satu orang yang beneran mau bantu. Dia bilang, “Senang membantu orang yang tertarik dengan budaya Palembang. Visit Musi 2010.” Hohoho, ya, ya, gue emang tertarik dengan budaya Palembang. Sangat tertarik. Termasuk dengan cewek-ceweknya. (ampun..ampun..hehe)
Dan dari orang baik itu, gue mempelajari beberapa kosakata juga kalimat seperti ini.

Mau kemana?: Nak kemano?

Aku mau pergi nonton: Aku nak pegi nonton

Pergi dengan siapa kamu? Sendirian?: Pegi samo siapo kau?dewe’an be?

Siapa yang mau ikut?: Sapo be yang nak mekot?

Setelah ini aku mau pulang ke rumah: aku abes ni nak balek ke rumah

Waw, ganteng kali kamu hari ini: Waw, belagak nian kau hari ni.

Hmmm, lumayan lumayan. Kelihatannya bisa diterapkan kelak jika dia gue mau ngajak dia ke bioskop. Terimakasih mister. Aku tek aguk nian. Haha.

Dan hari-hari pun berlalu tanpa gue sadari. Gue merasa seperti jalan di tempat. Di satu sisi, gue udah hafal banyak kosakata. Gue bahkan udah download kamus bahasa Palembang di internet. Tapi, tetap saja lidah gue aneh tiap kali menyebutkan kata dalam bahasa Palembang. Gue pernah melapalkan beberapa kata di depan kaca, dan bibir gue malah jadi kelihatan eksotis gitu.

Tiap kali bertemu dia, gue selalu berusaha mengucapkan sepatah kata dalam bahasa itu, tapi tetep aja mulut gue terkunci. Takut diketawain. Takut takut gue salah ngomong.

Hari demi hari berlalu, berlalu, dan berlalu.

Dan gue tetap ga bisa mendekati dia, sampai akhirnya gue nyerah sendiri. Ya sutralah..Paling tidak, dengan belajar bahasa Palembang ini, gue ga akan kesulitan jika suatu hari nanti gue tersesat di sumatera selatan

Maka tersesat ditempat ini pun bukanlah suatu masalah besar lagi bagi gue