Semester tiga gue adalah semester yang identik dengan masalah. Sesuatu yang bernama ‘Masalah’ ini menyerang semua aspek kehidupan gue. Gue benci masalah, tapi masalah mencintai gue. Ini adalah cinta sepihak yang menyebalkan.
Masalah cinta adalah salah satu masalah paling rumit. Faktanya, kisah cinta gue dengan liliput pertama merupakan kisah cinta paling menyedihkan yang pernah gue alami. Status gue sebagai pemuja rahasia abadi benar-benar memalukan. Jangan tanya gue bagaimana rasanya menjadi pemuja rahasia. Tanya saja Raditya Dika. Dia mampu menjelaskan dengan sangat baik bagaimana “sick” nya menjadi orang yang mencintai diam-diam. Berikut fragmen dari cerpennya di buku “Marmut Merah Jambu” yang gue anggap paling mewakili gue. Paling mewakili bagaimana rasanya menjadi orang hanya bisa mencintai dibelakang layar.
“Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang dari dulu, yang tumbuh mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.” (best fragmen)
Sedikit banyak, sindrom “pemuja rahasia” itu ternyata berpengaruh besar terhadap tingkat kepercayaan diri gue. Kali ini, dari masalah cinta merambat ke masalah kejiwaan. Gue jadi ga percaya diri, bahkan untuk mencoba menyukai orang lain. Gue berpikir dan mungkin takut jika orang lain yang nantinya akan gue sukai bersikap sama seperti liliput pertama.
Gue mengalami masalah besar pada kepercayaan diri hingga gue bertemu dengan seseorang yang memberi gue kesempatan untuk merubah paradigma gue yang salah itu.
Semuanya berawal dari keberanian gue untuk mendekati orang lain dan keluar dari bayang-bayang Liliput Pertama. Perlahan tapi pasti, gue mulai suka dengan orang lain. Dan tanpa bercerita kepada siapapun, gue maju dan sebisa mungkin tidak menenteng status “pemuja rahasia” yang konyol itu. Tidak ada yang tahu. Gue merahasiakan ini dari siapapun. Hingga tiba saatnya gue untuk menyatakan perasaan.
“Ya, orang yang aku sukai itu kamu.”
Begitulah kalimat penembakan gue waktu itu. Yah, memang bukan kalimat penembakan yang baik. Tapi paling tidak, dengan dikeluarkannya kata-kata itu ke udara, gue sukses menanggalkan status “orang yang mencintai diam-diam” yang sebelumnya melekat erat dalam diri gue.
Hal terbaik justru datang dari balasan kalimat penembakan gue diatas.
“Kok bisa?” Katanya.
“Ceritanya panjang.” Balas gue sangat grogi sekali. Panas dingin.
“Ya ampun.” Serunya. Tertawa. Lebar. Ya, tertawa. Tertawa senang.
Gue diterima dengan tawa bahagia. Lihat, ternyata kisah cinta gue ternyata ga selalu menyedihkan.
Tawa lebarnya dan bagaimana atmosfir perasaan yang terbentuk saat itu, merupakan moment terbaik yang gue alami di semester 3.
Masalah cinta, masalah percaya diri, tampaknya menemui jalan terang. Tapi tidak begitu dengan bagaimana jalannya hari-hari gue. Bagaimana labilnya perasaan gue. Bagaimana hopelessnya gue di akhir-akhir semester tiga gara-gara tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masalah keluarga, dan masalah kesehatan yang menumpuk dan berubah menjadi badai besar. Ya, badai besar yang ga akan bisa dimengerti oleh siapa-siapa.
Lagi-lagi gue suka bagaimana Raditya Dika menggambarkan situasi labil seperti ini dengan kata-katanya.
"Memang menyakitkan, segimana besarnya masalah kita, orang-orang lain akan tetap berjalan maju. Tidak akan memahami. Walaupun ketika kita cerita mereka pasti akan bilang “Gue tau gimana rasanya” Tapi mereka tidak bener-bener tahu. Karena mereka tidak dalam posisi kita. Tidak. Orang-orang lain akan tetap memperlakukan kita seperti orang biasa. Tanpa tau yang kita jalani. Tanpa tau apa yang sedang kita alami. Sebesar apapun badai yang ada di hati kita saat ini, the world will keep on moving, and I’ll keep on standing. (Di balik jendela-Cinta brontosaurus, Best description of guilty)"
Apa boleh buat, gue pun menjalani hari demi hari dengan diam. Menepis harapan bahwa akan ada seseorang yang mengerti. Yah, bukan mereka yang seharusnya mengerti. Gue yang seharusnya ngertiin diri gue sendiri. Terlalu bergantung kepada pengertian orang lain hanya akan membuat gue lemah. Lihat saja gue yang sekarang. Ini semua gara-gara gue terlalu mengandalkan orang lain untuk memberikan solusi atas semua masalah gue. Masa bodoh dengan teori makhluk sosial. Manusia tidak selalu membutuhkan pertolongan orang lain, terutama ketika mengalami masalah internal dalam diri. Atau, ketika tidak ada orang yang mau peduli dan mengerti.
Hari hari gue selanjutya, makin suram.Tanpa tujuan. Tanpa gairah. Satu-satunya hiburan yang bisa membuat gue sedikit merasa enakan adalah membaca wall to wall gue dengan odik. Gue menyimpan halaman wall to wallnya dan membukanya dikala senggang. Dan itu selalu berhasil membuat gue tersenyum. Lucu melihat bagaimana cara gue menanyai orang lain dengan pertanyaan dan candaan-candaan yang kurang penting, dan lucu melihat bagaimana pertanyaan kurang penting itu dibalas dengan panjangnya. Dan percayalah, kita akan merasa lebih baik ketika kita apa yang kita omongin ditanggapi oleh orang lain.
Wall to wall itu, adalah percakapan terbaik yang pernah gue lakukan di dunia maya.
Itu sedikit membantu gue untuk tetap waras disaat-saat sulit.
Satu bulan sebelum semester tiga berakhir adalah saat-saat paling berat. Sangat berat sehingga quotes favorit gue saat itu ialah “sh*t happens” yang kalo diartikan ke bahasa Indonesia menjadi “Sial itu biasa”.
Gue bisa saja menjadi sakit jiwa kalau gue ga punya teman yang baik-baik.
Ada satu teman yang paling gue ingat ketika jiwa gue sedang labil-labilnya. Teman yang sering mengatakan “semangat ya jik.” Ketika gue akan memulai praktikum. Teman yang bisa ditanya-tanya ketika teman gue yang lain terlalu sibuk untuk ditanya. Teman yang selalu menularkan keceriaannya ke gue.
Dia ini, teman yang sangat bisa diandalkan. Dia ini, teman yang selalu membuat gue melihat sisi terang dari semua kesialan yang gue alami.
Dia ini, teman yang membuat gue bertahan. Dia ini, adalah salah satu teman yang akan selalu gue ingat. Dia ini, teman yang baik.
Gue pun tetap bertahan menjalani hari-hari di akhir semester tiga yang menyebalkan. Biarpun yang membuatnya menyebalkan itu sikap gue sendiri. Ada suatu hari saat gue sangat putus asa dengan praktikum dan ga tahan lagi untuk tidak bercerita kepada orang lain. Gue menelepon salah seorang teman kepercayaan. Dhita. Gue ceritain semua masalah gue panjang lebar. Dia mendengarkan dengan seksama. Hanya mendengarkan.
“Kalo gitu keadaannya, aku juga ga tahu harus gimana. Kok kayaknya complicated amat yak.” Begitu jawabnya waktu itu.
“Gue jadi pengen mati.” Balas gue saking sebelnya.
“Ya ampun ozik. Apa-apaan sih itu. Cemen ah.”
“Terserah deh. Semua orang payah.”
“Oh, beneran pengen mati? Beneran? Ga pengen lihat Indonesia juara piala AFF?”
“Aku serius dhit!”
“Aku juga serius kale. Heh, ga pengen hidup lebih lama lagi? Ga pengen tahu siapa cowok yang bisa naklukin liliput pertama? Ga pengen tahu younha bakal nikah ma siapa? Atau lu pengen mati sebagai mahasiswa yang sepanjang kuliahnya ga pernah dapat nilai diatas B? heh. Ga asik ah.”
Gue tahu dhita bercanda dengan omongannya. Tapi, jika dipikir-pikir, ada benarnya juga. Masalah-masalah ini hanya mempersempit pikiran gue. Padahal, jika dipikir-pikir sedikit lagi, ada banyak hal rupanya yang bisa membuat gue untuk tetap menjalani hari-hari dengan semangat. Ya, si dhita itu memang mengambil contoh yang mengada-ngada seperti siapa yang akan jadi suami liliput pertama, tapi biar bagaimanapun juga dia benar. Masih banyak yang harus diperjuangkan dari hidup ini. Masih perlu membanggakan orang tua. Masih harus membeli barang-barang yang ingin dibeli. Masih harus tobat karena kebanyakan dosa. Dan masih harus membalas kebaikan teman-teman kepada gue. Curhatan dengan dhita itu merupakan curhatan yang paling memberikan pencerahan. Gue jadi punya banyak alasan untuk berjuang menyelesaikan masalah masalah gue yang kebanyakan. Dan ngomong-ngomong, tentang kebaikan teman, di semester tiga akhir inilah gue paling banyak merasakannya.
Apa yang selalu akan gue ingat, adalah bantuan teman-teman gue di praktikum IMT.
Apa hal terbaik yang gue terima di semester tiga adalah bantuan di praktikum IMT.
Dan setelahnya, biarpun masalah selalu datang, biarpun kesialan sudah menjadi hal yang biasa, gue tetap bisa menegakan kepala. Kebaikan-kebaikan mereka itu membuat gue mampu membuang semua keluh kesah. Saatnya gue maju dan belajar dari kesalahan.
Setelah semua yang gue lalui itu, gue jadi sadar, bahwa masalah itu datang bukan untuk ditunggu sampai hilang dengan sendirinya. Masalah itu datang untuk diselesaikan. Ya, Life is not about waiting the storm to pass. It is about dance in the rain.