Sepanjang semester 2, ga terhitung berapa kali gue berpapasan dengan liliput pertama (buat yang belum baca tulisan sebelumnya, “liliput” pertama adalah kode nama buat temen cewek satu angkatan yang gue taksir), tapi tak sekalipun gue berhasil mengajak dia ngomong sepatah kata pun. Jangankan ngomong, sekedar menyapa saja pun rasanya lidah gue seperti telah diprogram untuk berhenti bergerak tiap kali melihat dia dari jarak dekat.
Bentar lagi masuk semester 3. Gue yakin kesempatan gue untuk berpapasan dengan dia, baik itu ketika kuliah belum mulai, ketika jam makan, ataupun ketika bubaran kuliah, pasti masih sama besarnya dengan semester lalu. Dan jika saat itu tiba, gue ga mau gagal lagi. Gue harus ngomong. Gue harus membuka pembicaaan. Lemot gue kalo udah berhadapan dengan anak yang satu ini. Biasanya juga tanpa perintah mulut gue bisa ngebacot dengan sendirinya, lah tiap kali didepan dia gue mendadak bisu. Tapi gue percaya persiapan itu kunci keberhasilan (terdengar seperti kata-kata mutiara pas zaman bimbel dulu). Yang namanya keberanian itu bisa dilatih.
Gue sudah memikirkan tiga kemungkinan yang akan terjadi jika gue berpapasan dengan dia lagi beserta tindakan yang harus gue lakukan.
Situasi: Berpapasan di jalan (menuju kelas, menuju kantin, menuju mushala)
Kondisi 1: Dia sama sekali ga menoleh
Reaksi gue biasanya:
Gue gampang down ketika dicuekin. Ketika seseorang membuang tatapannya ketika bertemu gue, otomatis suasana hati gue jadi ga karuan. Gue resah dan kerap kali jadi kebingungan sendiri. Ini tidak baik. Biasanya gue jadi negative thinking
Reaksi gue seharusnya:
Tetap pasang wajah ramah, kalo bisa menyapa. Apakah sapaan gue dibalas atau tidak, pikirin belakangan. Kalo dibalas, itu artinya gue harus berlanjut ke tahap “ajak ngomong”. Gue bisa memulai dengan Tanya kabarnya terlebih dahulu, udah siap tugas dari dosen ini atau belum. Kalo ga dibalas, ya sabar aja atuh mas. Jangan menyerah. Siapa tahu dia luluh ngelihat kegigihan gue. Siapa tahu ya, gue sih ga mau berharap kejauhan haha.
Kondisi 2: Gue dan dia bertatapan, dia memasang tampang datar.
Reaksi gue biasanya:
Sering kebingungan. Akibatnya jadi ikutan pasang tampang datar juga, padahal dalam hati pengen nanya kabar. Huhuhu. Seringnya jadi merasa menyesal kenapa tadi ga ngomong ini ya, kenapa ga ngomong itu ya.
Reaksi gue seharusnya:
Lempar senyuman. Biarin aja walau senyuman gue aneh sekalipun. Itu lebih bagus daripada gue merengut kan. Senyuman itu dapat mencairkan suasana. Membuat seseorang jadi lebih rileks. Dan itu bisa menstimulasi otak untuk memerintahkan lidah gue bekerja mengeluarkan obrolan yang menarik.
Kondisi 3: Dia tersenyum.
Reaksi gue biasanya:
Sepanjang semester 2 ini cuma kejadian satu kali. Dan saat itu gue salah tingkah banget. Bengong dengan muka yang perlahan-lahan memerah. Gue menutupinya dengan pura-pura menelepon. Ahh, kalo ingat hari itu jadi kesel sendiri. Kenapa gue malah jadi ga bisa balas senyum dia. Saking Groginya.
Reaksi gue seharusnya:
Mestinya ini jadi mudah. Jika dia memberi senyuman bukankah itu artinya suasana hatinya sedang bagus. Dengan begitu kemungkinan gue untuk sukses mengajaknya ngobrol jauh lebih besar.
Harusnya gue menganggap ini sebagai peluang. Walau efek senyumnya hebat dan mengganggu kestabilan hati gue secara keseluruhan, tetap gue harus ingat tujuan utama gue, membuka pembicaraan untuk bisa lebih dekat dengan dia.
Lain kali ga boleh grogi (berlebihan) lagi. Tunda reaksi kesenangan gara-gara dapat senyuman manis setelah gue berhasil ngomong satu atau dua topik pembicaraan dengan dia.
See, itu tadi bisa jadi “Love Guide” gue di situasi dan kondisi normal. Lain halnya di kondisi darurat seperti misalnya, berpapasan disaat telat, berpapasan disaat dia atau gue lagi buru-buru, berpapasan disaat dia atau gue sedang asyik berbicara dengan teman-teman. Kalo di situasi-situasi seperti itu pasti tingkat kesulitannya meningkat dua kali lipat. Dan untuk menanganinya, selain berpikir dua kali lipat lebih keras, gue juga harus berusaha dua kali lipat lebih serius.
Bakalan ada “Love Guide” versi darurat deh.
|
|
---|